Jumri Pengrajin Tradisional Hiasan Kepala Sejak Tahun 1975

    Jumri Pengrajin Tradisional Hiasan Kepala Sejak Tahun 1975

    Agam, indonesiasatu - Pengrajin suntiang di Lubuk Basung telah menekuni usaha hiasan kepala perempuan Minangkabau sejak 1975.

    Jumri (60) konsisten membuat suntiang hingga sekarang. ratusan suntiang buatannya telah menyebar ke seluruh wilayah di Sumatera Barat.

    Jumri mengaku mulai menggeluti pembuatan suntiang sejak kelas 5 Sekolah Dasar. Semasa kecil, dirinya memang hidup di lingkungan para perajin aksesoris di Kota Padang.

    “Waktu itu saya coba mukul-mukul, dilarang orang punya, mukul-mukul lagi, dilarang lagi, akhirnya karena gigih saya diajari betul, ” ujarnya di Lubukbasung,   pada media, Rabu , (25/4/2021).

    Pada 1975 sekitar kelas satu SMP, sambungnya, Jumri sudah bisa membuat aksesoris untuk sunting. Dirinya mulai membuka usaha sendiri ketika duduk di bangku SMA.

    “Boleh dibilang biaya pendidikan diperoleh dari membuat sunting ini, ” kata pria asal Andaleh, Kota Padang itu.

    Diakuinya, melalui membuat kerajinan suntiang dia bisa menamatkan perguruan tinggi dan memperoleh gelar Diploma Ekonomi.

    Pria yang sempat mengabdi sebagai dosen itu menyebut pemesanan suntiang saat ini jauh menurun. Bahkan dalam enam bulan terakhir dirinya sama sekali tidak mendapatkan pesananan.

    “Namun apa boleh buat, sudah banyak pekerjaan yang dicoba, sudah banyak juga rantau yang didatangi, dari membuat suntiang inilah saya menemukan kenikmatan, ” kenang Jumri.

    Butuh waktu paling sedikit satu Minggu bagi Jumri menyelesaikan satu suntiang. Waktu tersebut akan lebih lama lagi untuk pembuatan suntiang menggunakan kawat tembaga.

    Dijelaskan Jumri, suntiang sendiri dirangkai menggunakan kawat ukuran satu perempat yang dipasang pada kerangka seng aluminium seukuran kepala.

    Pada kawat itu kemudian dipasang sedikitnya lima jenis aksesoris atau penghias. Disebutkan, hiasan itu dinamakan suntiang pilin, suntiang gadang, mansi-mansi, jurai-jurai, dan bungo.

    Ukuran sebuah suntiang pun bervariasi tergantung jumlah mansi atau kawat. Dikatakan, suntiang paling besar ukurannya 25 mansi, kemudian 23 mansi, dan 21 mansi.

    “21 mansi yang paling umum dipakai saat ini, ” katanya

    Kemudian, sambungnya, ada juga suntiang yang ukurannya lebih kecil. Suntiang ini biasa dipakai pelajar saat pawai peringatan 17 Agustusan dan acara lainnya.

    Bahan suntiang pun dibagi jadi tiga jenis berdasarkan bahan. Yang lebih berat dan mahal terbuat dari seng aluminium kuningan.

    Kemudian mansi biasa, dan yang sekarang mulai banyak dipakai, terutama untuk pelajar, suntiang dari plastik yang jauh lebih ringan.

    “Untuk sunting ukuran standar atau menengah saya menjualnya Rp. 1, 4 juta. Tapi semua tergantung ukuran dan kerumitan pembuatan, ” ujarnya.

    Saat ini dirinya mengaku hanya menerima pemesanan suntiang anak daro dan sunting pasumandan.(*)

    Zul Abrar

    Zul Abrar

    Artikel Sebelumnya

    DWP Kamenag Agam Beri Santunan Warga Kurang...

    Artikel Berikutnya

    Dr. Andri Warman Tandatangani TP2DD

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Kunjungan Kerja Kepala Keuangan Kodam Iskandar Muda ke Korem 012/TU
    Dukung Asta Cita Presiden RI, Panglima TNI Tinjau Program Ketahanan Pangan Kodam IV/ Diponegoro
    Hendri Kampai: Indonesia Hanya Butuh Pemimpin Jujur yang Berani
    Bakamla RI Berikan Pertolongan Medis ABK KM Lintas Samudra 2 di Perairan Natuna
    Cegah Paham Radikalisme, Polri Tekankan Pentingnya Upaya Kontra Radikal 

    Ikuti Kami